Revisi Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) kembali menyulut debat panas di kalangan pelaku industri kripto Indonesia. Di tengah kontribusi pajak aset kripto yang sukses menembus Rp1,71 triliun, pemerintah lewat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) nampak bertekad memperketat regulasi di sektor ini.
Namun, pertanyaan krusial pun mengemuka: apakah revisi tersebut benar-benar dirancang sebagai perisai perlindungan bagi ekosistem yang tengah berkembang, ataukah justru berpotensi menjadi senjata makan tuan yang menggerus inovasi serta daya saing nasional? Artikel ini akan mengupas semuanya.
Kontroversi di Balik Regulasi
Revisi UU P2SK secara resmi memindahkan kewenangan pengawasan aset kripto dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK. Di saat yang sama, regulasi ini memperkenalkan konsep Lembaga Jasa Keuangan Aset Kripto (LJK) guna mengintegrasikan industri kripto ke dalam kerangka Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK). Secara normatif, tujuan ini memang terdengar mulia. Yakni memperkuat kepastian hukum sekaligus meningkatkan perlindungan konsumen.
Namun, sederet pasal kontroversial, khususnya Pasal 215B, 215C, dan Pasal 312A huruf C, justru memantik kecurigaan. Ketentuan tersebut mensyaratkan pendirian bursa kripto baru dengan modal minimum Rp1 triliun, kepemilikan oleh 11 pendiri non-afiliasi, serta pembatasan kepemilikan saham yang ketat (maksimal 20% per pihak, 10% asing, dan total asing 40%). Kombinasi persyaratan ini dinilai nyaris mustahil dipenuhi oleh para pemain baru, terutama inovator independen dan startup berbasis teknologi.
Kerancuan pun kian menguat karena adanya pengecualian bagi bursa yang telah mengantongi izin sebelumnya. Situasi ini diperkeruh oleh beredarnya rumor keterlibatan figur-figur tertentu (termasuk Samsudin Andi Arsyad alias Haji Isam dan Hapsoro Sukmonohadi, suami Ketua DPR Puan Maharani) dalam pendirian bursa baru. Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan lainnya: apakah regulasi ini digelar sebagai karpet merah bagi elit tertentu, sementara pintu inovasi ditutup rapat bagi pelaku lain?
Lebih jauh, sentralisasi perdagangan kripto ke satu bursa tunggal sebagaimana diatur dalam Pasal 215C poin 9 menimbulkan risiko sistemik yang nyata. Skema ini menciptakan single point of failure. Pasalnya, jika sistem pusat tersebut mengalami gangguan, maka seluruh pasar kripto nasional berpotensi lumpuh serentak. Transisi dari arsitektur multi-bursa menuju sistem terpusat dalam kurun waktu dua tahun dinilai tergesa-gesa, mengabaikan prinsip uji coba bertahap yang lazimnya butuh waktu bertahun-tahun dalam industri keuangan.
Baca Juga: Bursa Kripto Baru Siap Jadi Rival CFX, Digawangi Haji Isam & Suami Puan Maharani
Dorongan OJK untuk Regulasi Adaptif: Solusi atau Sekadar Janji?
Dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) November 2025, Kepala Eksekutif Pengawas ITSK OJK, Hasan Fawzi, berusaha meredam kegelisahan publik. Ia menegaskan bahwa revisi UU P2SK dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum sekaligus mendukung inovasi melalui regulasi yang dinamis, baik dalam bentuk peraturan pemerintah maupun regulasi turunan OJK. Hasan juga menekankan keterbukaan regulator terhadap masukan industri, dengan klaim menyeimbangkan mitigasi risiko dan peluang ekonomi digital.
Namun, klaim tersebut seketika berhadapan dengan realitas struktural. Pasalnya, bagaimana mungkin adaptasi cepat dapat terwujud apabila desain sentralisasi telah tertanam secara rigid dalam undang-undang? Fleksibilitas regulasi yang dijanjikan berpotensi menjadi ilusi apabila fondasi hukumnya sendiri justru menutup ruang eksperimentasi serta koreksi.
Dari sisi legislatif, kritik juga berdatangan. Ketua Komisi XI DPR, Muhkamad Misbakhun, menyatakan bahwa sentralisasi diyakini mampu meningkatkan transparansi dan keamanan dana investor, khususnya generasi muda. Namun, argumen tersebut belum sepenuhnya menjawab persoalan teknis dan ekonomi yang lebih dalam. Jika crypto exchange lokal kehilangan kendali atas komponen vital seperti order book dan matching engine, maka ruang inovasi akan ‘tercekik’.
Risiko lanjutan pun mengintai: investor domestik dapat beralih ke platform luar negeri. Apabila itu terjadi, ekosistem kripto nasional terancam menjadi rapuh, kehilangan likuiditas, dan tertinggal dalam persaingan global.
Baca Juga: Kejahatan Kripto Melesat, BRIN Nilai Sistem Hukum Indonesia "Belum Siap"
Visi Jangka Panjang atau Kepentingan Sesaat?
Pertanyaan mendasarnya kini tak bisa dihindari: apakah revisi UU P2SK dirancang sebagai fondasi strategis untuk menjadikan Indonesia pusat inovasi kripto regional, atau sekadar respons jangka pendek yang sarat kepentingan? Klaim komitmen OJK dan DPR atas ekosistem yang aman dan kompetitif akan sulit dipercaya apabila pasal-pasal bermasalah dibiarkan tanpa koreksi substansial.
Tanpa regulasi yang lentur dan adaptif, industri kripto berisiko terjebak dalam stagnasi struktural. Di titik ini, pembuat kebijakan diuji bukan oleh retorika, melainkan keberanian mendengar dan memperbaiki. Jika gagal, Indonesia terancam kehilangan peluang strategisnya dalam kancah persaingan global.
Artikel ini tidak mengandung nasihat atau rekomendasi investasi. Setiap langkah investasi dan perdagangan melibatkan risiko, dan pembaca harus melakukan riset mereka sendiri saat membuat keputusan. Sementara kami berupaya menyediakan informasi yang akurat dan tepat waktu, Cointelegraph tidak menjamin keakuratan, kelengkapan, atau keandalan informasi apa pun dalam artikel ini. Artikel ini dapat berisi pernyataan berwawasan ke depan yang tunduk pada risiko dan ketidakpastian. Cointelegraph tidak akan bertanggung jawab atas kerugian atau kerusakan yang timbul dari ketergantungan Anda pada informasi ini.
