Cointelegraph
Zummia FakhrianiZummia Fakhriani

Kejahatan Kripto Melesat, BRIN Nilai Sistem Hukum Indonesia "Belum Siap"

BRIN soroti lemahnya koordinasi, SDM, & regulasi penanganan kejahatan kripto di Indonesia, sementara kasus hacker Markets.com Rp6,67 miliar perlihatkan urgensi reformasi hukum.

Kejahatan Kripto Melesat, BRIN Nilai Sistem Hukum Indonesia "Belum Siap"
Berita

Lonjakan penggunaan aset kripto di Indonesia diiringi dengan meningkatnya tindak kejahatan digital. Namun mirisnya, penelitian terbaru Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyimpulkan bahwa sistem hukum Indonesia belum siap menangani kompleksitas kriminalitas yang melibatkan aset kripto, terutama terkait koordinasi lintas lembaga, kekuatan regulasi, dan kesiapan sumber daya manusia (SDM).

Temuan tersebut dipaparkan oleh Aghia Khumaesi, peneliti Pusat Riset Hukum BRIN, dalam Seminar Rumah Program Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora pada 26 November 2025.

“Kripto berkembang sangat cepat, Asia memimpin kepemilikan kripto global, dan Indonesia berada di peringkat ke-3 pasar kripto dunia. Tetapi, lonjakan ini tidak diimbangi kesiapan sistem hukum nasional,” tutur Aghia.

Lemahnya Koordinasi & SDM yang Belum Memadai

BRIN menemukan bahwa penyidikan kasus kripto kerap kali terhambat pada tahap pelacakan wallet aset digital karena tidak ada pedoman terpadu antara kepolisian, kejaksaan, dan lembaga peradilan.

“Dalam proses penanganan, polisi bergerak sampai titik tertentu, tetapi mandek di kejaksaan terutama saat menelusuri dompet aset digital. Tidak ada standar kerja bersama,” ungkapnya.

Selain itu, kesenjangan kompetensi menjadi kendala besar, karena para pelaku menggunakan teknik yang jauh lebih kompleks dibanding kemampuan penegak hukum saat ini.

“Di lapangan, aparat kesulitan mengejar modus pelaku terutama dalam pelacakan aset. Gap kemampuan ini besar dan nyata,” jelasnya.

BRIN merekomendasikan peningkatan pelatihan digital forensics karena dianggap metode paling efektif untuk investigasi kripto. Saat ini, Kejaksaan menjadi satu-satunya institusi yang telah memiliki pedoman teknis pelacakan wallet, namun belum diadopsi secara nasional.

Menurut BRIN, status kripto sebagai komoditas di bawah pengawasan Bappebti membuat proses penindakan pidana tidak selalu menyentuh inti masalah, karena dalam praktik tindak kriminal digital, kripto berperan sebagai media transaksi langsung.

Hal ini menyebabkan banyak kasus diperlakukan sebagai tindak kriminal lain, sementara aspek kriptonya hanya dianggap alat pendukung, bukan objek utama tindak pidana.

Baca Juga: Van de Poppe Beber Strategi Trading Altcoin Pasca Crash, Incar Target +500%

Kasus Peretasan Markets.com Ungkap Risiko Sistemik

Kelemahan sistem penegakan hukum ini disorot semakin tajam menyusul pengungkapan kasus peretasan lintas negara terhadap platform perdagangan aset kripto Markets.com milik Finalto International Limited (London). Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri menangkap WNI berinisial HS pada 15 September 2025.

HS diduga memanfaatkan celah sistem input transaksi sehingga perusahaan mengalami kerugian Rp6,67 miliar.

Adapun daftar barang bukti yang disita meliputi:

  • 266.801 USDT disimpan dalam cold wallet (senilai Rp4,45 miliar)

  • perangkat elektronik dan dokumen

  • satu unit ruko 152 m² di Bandung.

“Pelaku memanfaatkan celah teknis untuk mendapatkan deposit USDT ilegal tanpa transaksi sah,” terang Wakil Direktur Tindak Pidana Siber Andri Sudarmadi.

Tersangka kini dijerat UU ITE, UU Transfer Dana, UU TPPU, dan KUHP, dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan denda Rp15 miliar. Di samping itu, penyidik masih menelusuri dugaan keterlibatan pihak lain.

Baca Juga: Sejauh Mana Harga Bitcoin Berpeluang Turun? Analis Ini Sebut Angka US$45.880

BI Peringatkan Risiko Sistemik: Maraknya Stablecoin Swasta Tanpa Pengawasan

Peringatan juga datang dari Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, yang menyebut peredaran uang kripto dan stablecoin swasta tanpa pengawasan sebagai salah satu dari lima risiko besar memburuknya ekonomi global tahun depan.

Dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, 28 November 2025, Perry menegaskan:

“Maraknya uang kripto dan stablecoin pihak swasta, belum ada pengaturan dan pengawasan yang jelas. Di sinilah perlunya central bank digital currency.”

BI menilai penerbitan dan perdagangan kripto swasta berpotensi meningkatkan kerentanan sistem keuangan global, termasuk risiko derivatif, bubble harga, dan perpindahan modal spekulatif.

Menurut BI:

  • Kapitalisasi pasar kripto global per April 2025 mencapai US$2,7 triliun

  • Kapitalisasi stablecoin per Juni 2025 lebih dari US$255 miliar

  • Sebagian besar berbasis USDC dan USDT

Temuan BRIN, kasus peretasan Markets.com, dan peringatan Bank Indonesia menggarisbawahi urgensi reformasi hukum kripto di Indonesia. Tanpa hadirnya pedoman penanganan terpadu serta penguatan kompetensi investigasi digital, pertumbuhan kripto nasional berpotensi meningkatkan risiko kejahatan keuangan dan stabilitas sistem keuangan.

Baca Juga: Pro-Crypto sejak 2017, Tom Lembong: Bitcoin Adalah “The Only Real Crypto”