Di tengah perdebatan seputar regulasi, Asosiasi Blockchain dan Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo-ABI) menyuarakan sebuah usulan: aset kripto tak hanya sebagai instrumen investasi, melainkan juga alat pembayaran. Usulan ini diajukan dalam RUU P2SK (Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan) sebagai langkah strategis untuk memajukan industri kripto di Tanah Air.

Asosiasi yang dikenal dengan nama ABI ini adalah satu-satunya asosiasi yang mewadahi pelaku usaha di bidang blockchain dan aset kripto di Indonesia. Mandatnya dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menempatkan ABI sebagai jembatan penting antara industri dan pembuat kebijakan.

Pergeseran Paradigma dari Aset ke Utilitas

Wakil Ketua Umum Aspakrindo-ABI, Yudhono Rawis, menekankan bahwa di banyak negara lain, fungsi aset kripto telah berkembang jauh melampaui sekadar aset investasi. Alih-alih stagnan, ia menilai sudah saatnya Indonesia melakukan harmonisasi antarinstitusi, khususnya antara OJK yang mengawasi aset kripto dan Bank Indonesia (BI) yang memegang kendali atas sistem pembayaran.

Menurutnya, kolaborasi ini esensial guna membuka jalan bagi inovasi, terutama dalam hal pemanfaatan kripto sebagai alat transaksi. Dengan demikian, aset digital bisa naik kelas dari sekadar spekulasi menuju utilitas nyata yang dapat memecahkan masalah sehari-hari.

Meniru Langkah Global dan Perkuat Ekosistem Lokal

Usulan ini sejalan dengan tren global. Yudhono mengambil contoh Amerika Serikat, di mana parlemen telah menyetujui penggunaan stablecoin sebagai alat pembayaran. Perkembangan ini menggarisbawahi bahwa inovasi dalam pembayaran berbasis kripto sudah menjadi hal yang lumrah di negara-negara maju.

Inisiatif terbaru di Uni Eropa, misalnya, melibatkan sembilan bank raksasa yang berencana meluncurkan stablecoin euro yang diatur MiCAR (Markets in Crypto-Assets Regulation) pada 2026. Hal ini mencerminkan adanya upaya strategis dari lembaga keuangan tradisional untuk mengadopsi aset kripto sebagai alat pembayaran yang sah dan teregulasi.

Di Indonesia sendiri, tantangannya adalah maraknya crypto exchange ilegal yang mengambil pangsa pasar secara signifikan. Imbasnya, para pengguna pun beralih ke exchange global yang tak berizin karena menawarkan fitur yang lebih lengkap dan juga karena adanya perbedaan pajak. Tingginya PPh sebesar 0,21% untuk transaksi kripto di dalam negeri dianggap sebagai salah satu penyebab utama kebocoran ini.

Dengan melegalkan aset kripto sebagai alat pembayaran serta menyesuaikan kebijakan pajak, Indonesia berpotensi tidak hanya menertibkan industri, tetapi juga menciptakan lapangan bermain yang setara bagi crypto exchange lokal. Dengan begitu, ini akan membantu mendongkrak pertumbuhan ekosistem yang sehat, transparan, dan pada akhirnya, mendatangkan manfaat ekonomi yang lebih baik pula bagi negara.