“Buy every dip”. Itulah saran dari CEO Strike Jack Mallers. Menurut Mallers, dengan quantitative tightening (QT) yang telah berakhir serta pemangkasan suku bunga dan stimulus yang berada di depan mata, “the great print is coming”. Amerika Serikat tidak bisa menanggung harga aset yang jatuh, ujarnya, yang berarti akan ada tembok likuiditas raksasa siap mengalir dan menopang harga.
Sementara investor ritel menggemari istilah seperti “buy the dip” dan “dollar-cost averaging” (DCA) untuk membeli di titik harga rendah atau melakukan pembelian rutin, sesungguhnya konsep tersebut telah lama dipakai para profesional seperti Samar Sen, Senior Vice President dan Head of APAC di Talos, platform trading aset digital institusional.
Ia mengatakan bahwa para trader institusional telah menggunakan istilah tersebut selama beberapa dekade untuk mengelola entry point (titik masuk) mereka dan membangun eksposur secara bertahap, sekaligus menghindari keputusan emosional ketika pasar bergejolak.
Baca Juga: Van de Poppe Beber Strategi Trading Altcoin Pasca Crash, Incar Target +500%
Bagaimana Institusi Lancarkan Buy the Dip
Perusahaan treasury seperti Strategy dan BitMine menjadi contoh terdepan institusi yang membeli saat harga turun (buy the dip) dan melakukan DCA dalam skala besar, tanpa henti menyedot koin setiap kali ada kesempatan.
Strategy menambah 130 Bitcoin (BTC) pada hari Senin, sementara Tom Lee yang tak kenal puas membeli Ethereum (ETH) senilai US$150 juta pada hari Kamis, mendorong Arkham menuliskan, “Tom Lee is DCAing ETH”.
Namun, meskipun terlihat seolah-olah smart money terpaku pada layar dan bereaksi setiap penurunan pasar, kenyataannya justru sangat berbeda.
Institusi tidak menggunakan kosakata ritel, jelas Samar, tetapi gagasan inti berupa akumulasi disiplin, rebalancing oportunistik, dan mengisolasi diri dari noise (kebisingan) jangka pendek sangat tecermin dalam cara mereka membangun posisi di aset seperti Bitcoin.
Perbedaan utama, ucapnya, terlihat pada cara mereka mengeksekusi. Sementara investor ritel cenderung bereaksi pada berita utama dan grafik harga, desk institusional bergantung pada “kerangka kerja terstruktur, berbasis aturan, dan sistem kuantitatif”.
Manajer aset atau hedge fund menggunakan kombinasi indikator ekonomi makro, momentum trigger, dan sinyal teknikal untuk mengekspresikan pandangan jangka panjang dan “mengidentifikasi level entry yang atraktif.” Ia berkata:
“Sebuah Digital Asset Treasury (DAT) desk dapat merujuk pada data likuiditas lintas-venue, volatility bands, pola candlestick, dan sinyal dislokasi intraday untuk menilai apakah pelemahan adalah peluang mean-reversion yang sah. Ini adalah padanan institusional dari ‘buying the dip’, namun berbasis kebenaran statistik kuantitatif, bukan impuls.”
Dan sementara DCA versi ritel berarti membeli nominal yang sama pada jadwal tetap, institusi mendekati akumulasi bertahap melalui “execution science”. Market order periodik digantikan oleh strategi algoritmik untuk meminimalkan market impact dan menghindari sinyal kepada pasar.
Dalam setiap kasus, strategi mereka selalu dibentuk oleh mandat terkait risiko, likuiditas, ekspektasi market impact, dan konstruksi portofolio, bukan oleh meme tentang ‘menyendok koin’ atau trading berdasarkan hype.
Baca Juga: Trader Raup Cuan Rp22,4 Miliar dari Meme Coin Berbasis Solana Ini
Apa yang Sebenarnya Terjadi saat Bitcoin Drop 10–20%?
Meskipun terlihat seolah-olah mereka merespons pasar secara real-time, kenyataannya jauh lebih terukur. Samar menjelaskan bahwa dana berbasis kuant mengandalkan model statistik untuk membedakan apakah pergerakan tajam mengindikasikan “temporary dislocation” alih-alih reversal yang nyata.
Jadi, sementara trader ritel mungkin bereaksi atas seruan “buy the dip”, respons institusional terhadap penurunan pasar adalah terstruktur, didorong sinyal, dan “diatur oleh proses yang telah didefinisikan sebelumnya”.
Dan jika seorang investor ritel ingin meniru praktik terbaik institusional terkait DCA dan strategi membeli saat harga turun, apa yang seharusnya mereka tiru?
Menurut Samar, kunci pertama adalah menentukan eksposur sejak awal, sebelum pasar runtuh. Institusi tidak menunggu volatilitas untuk memutuskan apa yang ingin mereka miliki. Mereka harus menentukan target alokasi dan basis biaya sebelum pasar bergerak, agar tidak bereaksi emosional terhadap berita.
Prinsip kedua adalah memisahkan keputusan investasi dan keputusan eksekusi. “Seorang portfolio manager mungkin memutuskan waktunya membangun eksposur, tetapi eksekusi trade dilakukan secara sistematis melalui strategi eksekusi yang menyebar order seiring waktu, mencari likuiditas lintas-venue, dan berupaya menekan market impact.”
Bahkan untuk ritel, prinsipnya sama: Tentukan apa yang ingin Anda miliki terlebih dahulu, lalu pikirkan bagaimana cara mencapainya.
Terakhir, lakukan evaluasi pasca-trade. Institusi bertanya apakah eksekusi sesuai rencana, di mana slippage terjadi, dan apa yang perlu diperbaiki. Jadi jika Anda ingin “stack sats” seperti pro:
“Tetapkan aturan Anda sejak awal, eksekusi dengan tenang, dan evaluasi dengan jujur — Anda sudah beroperasi jauh lebih mendekati praktik terbaik institusional dibandingkan mayoritas orang.”
Artikel ini tidak memuat nasihat atau rekomendasi investasi. Setiap keputusan investasi dan aktivitas trading mengandung risiko, dan pembaca harus melakukan riset mandiri sebelum mengambil keputusan.
Baca Juga: Analisis Harga BTC: Bitcoin Bisa Crash 50% Lagi, Trader Wajib Pantau Ini
