Rajat Soni, CFA, analis keuangan populer di X dengan akun @rajatsonifnance, kembali menyulut perdebatan panas setelah menyebut XRP sebagai scam (penipuan).

Dalam utas yang dipublikasikan pada 13 November 2025, ia menerangkan mengapa menurutnya bank tidak akan pernah mengadopsi XRP dan justru lebih memilih stablecoin berbasis USD, aset yang didukung Bitcoin, atau Bitcoin itu sendiri.

Pernyataannya memancing respons beragam, termasuk komentar singkat dari @RealAllinCrypto yang hanya menyebut pandangannya sebagai “opini jelek” tanpa argumen tambahan, alhasil semakin memanaskan diskusi di komunitas kripto.

“XRP Tidak Terdesentralisasi”

Soni memulai kritiknya dengan menegaskan bahwa XRP tidak memenuhi prinsip desentralisasi. Menurutnya, Ripple Labs memiliki kendali dominan sejak awal penciptaan koin tersebut.

“XRP adalah scam. Bank tidak akan pernah menggunakan XRP… XRP tidak terdesentralisasi. Pengembangnya adalah Ripple Labs,” tulisnya.

Ia menyebut bahwa 80% pasokan awal XRP dikuasai Ripple, dan hingga kini perusahaan masih memegang sekitar 50% total pasokan. Eksekutif Ripple juga dinilai secara rutin menjual XRP guna mendanai operasional. Soni mempertanyakan: jika harga naik, apa yang mencegah mereka untuk menjual lebih banyak?

Baca Juga: Analis Kawakan Prediksi Harga XRP Bisa Naik ke US$10, tapi Harus Kunjungi Level Ini Dulu

Harga yang Tak Kembali ke ATH dan Risiko Sentralisasi

Soni juga menyoroti kenyataan bahwa XRP belum kembali ke harga tertinggi sepanjang masa (all-time high / ATH) selama delapan tahun. Menurutnya, salah satu penyebab utamanya ialah sentralisasi dan tingginya kontrol Ripple atas jaringan.

Ia mengeklaim Ripple memiliki kemampuan untuk mengubah kode dan mencetak lebih banyak token bila diinginkan. Baginya, hal ini menjadi bukti bahwa XRP bukanlah jaringan yang dikendalikan komunitas, melainkan perusahaan terpusat.

Soni memperingatkan bahwa pelarangan XRP di AS akan membuat nilainya anjlok mendekati nol lantaran minimnya utilitas riil di luar spekulasi. Ia menyebut sebagian besar holder XRP bertahan karena berharap ada adopsi di sektor perbankan, sebuah asumsi yang menurutnya tidaklah realistis.

Ia juga menyinggung bagaimana nilai XRP pernah drop tajam saat Ripple berhadapan dengan gugatan regulasi. Hal itu menunjukkan tingginya sensitivitas aset tersebut terhadap tekanan hukum.

Membandingkan XRP dengan Bitcoin

Untuk memperjelas argumennya, Soni membandingkan XRP dengan Bitcoin. Menurutnya, Bitcoin sepenuhnya dikelola komunitas, dengan ribuan node di seluruh dunia dan mekanisme perubahan kode yang memerlukan konsensus luas.

“Pemilik BTC terbesar tidak akan pernah memiliki lebih dari 5% pasokan,” ujarnya, menekankan distribusi pasokan yang lebih sehat.

Ia menambahkan, seumpama Bitcoin dilarang di AS sekalipun, harganya justru bisa naik karena likuiditas akan berpindah ke pasar lain. Sebaliknya, XRP dinilai tidak memiliki ketahanan yang sama.

Dalam utas yang sama, Soni menyoroti masalah lain: hilangnya data pada XRP Ledger. Ia menunjukkan bahwa ledger nomor 1 hingga 32.569 tidak tersedia, dan ledger ke-32.570 dianggap sebagai genesis ledger. Pertanyaan retoris yang ia ajukan—“Mengapa negara mana pun mau menggunakan ledger dengan transaksi yang hilang?”—menjadi salah satu poin yang banyak diperdebatkan pengguna X.

Sumber: X Rajat Soni

Adapun respons @RealAllinCrypto pada 13 November hanya berisi kalimat, “Such a bad take… $XRP,” (Sebuah opini buruk… $XRP) tanpa penjelasan. Alih-alih meredam perdebatan, komentar singkat itu justru membuat banyak pengguna menduga bahwa argumen Soni sulit dipatahkan tanpa data yang solid.

Baca Juga: Pro-Crypto sejak 2017, Tom Lembong: Bitcoin Adalah “The Only Real Crypto”